HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Jumat, 09 Agustus 2019

Kyai Ubaid: “Isu Urutsewu Harus Jadi Isu Nasional”

Daulat Hijau | August 8, 2019

Kamis (8/8/19) santri FNKSDA Semarang bersama GUSDURian Semarang mendatangi kediaman Kyai Ubaidillah Shodaqoh guna membicarakan masalah Urut Sewu. Kyai Ubaidillah Shodaqoh yang merupakan Rois Syuriah PWNU Jawa Tengah diharapkan dapat turut serta membantu perjuangan warga Urutsewu dalam masalah klaim tanah yang dilakukan oleh TNI AD. Kurang lebih pada pukul 10.00 WIB, keempat santri ini dapat bertemu secara langsung dengan Kyai Ubaid.
Fathan selaku koordinator daerah FNKSDA Semarang mengawali perbincangan dengan mengutarakan maksud dan disambung dengan menjelaskan kronologi permasalahan yang menimpa warga Urutsewu. Kyai pun mendengarkan lalu menyampaikan bahwa akhir-akhir ini banyak sekali masalah yang menimpa petani.
Sekarang petani mengalami banyak masalah. Ada yang ditangkap karena mempertahankan tanahnya. Ada yang menjual pupuk dan benih sendiri dianggap melanggar undang-undang dan ditangkap. Saya kemarin disowani sama orang Demak yang punya masalah begitu. Harusnya kalau petani berinovasi punya benih yang tahan dari hama itu didukung bukannya ditangkap. Tetapi tidak, semua harus beli di industri. Di daerah pesisir Cilacap, Kebumen itu kan termasuk daerah subur yang hasilnya biasa dijual di supermarket tapi dilabeli produk luar negeri, yang dibeli murah tapi dijual mahal.” Terang Kyai Ubaid.
Setelah membaca berkas berupa surat dan kronologi kasus Urutsewu, Kyai menyarankan supaya isu ini bisa menjadi isu nasional, karena berat melawan TNI. Beliau akan berusaha mengundang para wartawan untuk dapat menaikkan berita ini. Beliau juga berpesan agar warga tidak berhenti istighotsah dan ber-mujahadah, karena itu merupakan alat perjuangan warga NU secara moral spiritual. Selain itu juga beliau akan berkomunikasi dengan orang-orang PWNU Jawa Tengah untuk membahas masalah ini.
Ketika diceritakan bahwa masyarakat sempat mendapatkan tindak kekerasan dari militer, kyai cukup paham. Karena TNI tidak akan segan-segan menggunakan kekerasan. Kalau tidak begitu dengan stigma komunis. Itu yang jadi alat mereka. Apalagi selama ini NU masih vis a vis dengan TNI.
Hubungan TNI dan NU, terutama TNI AD memang tidak bagus sejak zaman Soeharto. Ingat bagaimana Ahmad Yani membantai para kyai. Dan stigma komunis yang masih sering dipakai itu jadi alat mereka. Ingat juga Gus Dur yang menghapus dwifungsi ABRI sehingga konflik TNI-NU masih ada sampai sekarang.” Kata Kyai Ubaid yang juga menjadi pengasuh di Ponpes Al-Itqon Semarang ini.

Rabu, 08 Juli 2015

Galeri Aksi 8 Juli 2015









Rabu, 20 Maret 2013

Petani Dapat Dukungan Internasional

* Penolakan Penambangan Pasir Besi | 18 Maret 2013

KULONPROGO - Penolakan penambangan pasir besi oleh Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulonprogo mendapat dukungan dunia internasional. Forum akademisi internasional di Universitas Filipina yang diikuti PPLP, pada  7-12 Maret, menyepakati agar pertanian di pesisir Kulonprogo dipertahankan.
 
Perwakilan PPLP yang hadir di forum tersebut, Widodo mengungkapkan, jaringan yang terbangun di forum tersebut juga akan konsisten menyuarakan dan menolak penambangan pasir besi di Kulonprogo. Black and Green Forum 2nd Solidarity Eco Camp tersebut diorganisasi oleh Local Autonomus Network bekerja sama dengan Pusat Studi Dunia Ketiga, Universitas Filipina.

Pembicara dalam forum itu di antarnaya dari Pusat Studi Dunia Ketiga Universitas Filipina, Institut Populasi Universitas Filipina, inisiator Food Not Bombs dari Amerika, permakultur desainer/konsultan dari Belgia, aktivis anti nuklir dari Jepang.

Widodo dari PPLP turut pula sebagai pembicara mengisi dalam sesi diskusi. Forum tersebut dihadiri oleh mahasiswa, kalangan akademisi, organisasi-organisasi lokal, serta aktivis yang bergerak pada isu perjuangan sosial dan lingkungan.

’’Menurut analisis dan keputusan mereka, ini (tambang) harus benar-benar ditolak karena di pesisir Kulonprogo berupa lahan pasir bisa ditanami, ada gumuk pasir yang sebetulnya dilindungi undang-undang internasional. Tetapi tiba-tiba pemerintah Indonesia akan menghilangkan itu,’’ kata Widodo yang juga korlap PPLP, Jumat (15/3).

Harus Dijaga

Karena itu, kondisi pertanian dan alam pesisir tersebut harus dijaga. Sebab, lanjutnya, di mana-mana pertambangan pasti merusak lingkungan. Jangan sampai di pesisir Kulonprogo ini hadir penambangan dan kembali akan merusak lingkungan dan menggusur kehidupan puluhan ribu petani di pesisir Kulonprogo.

’’Jadi kami mendapat dukungan di dunia internasional tentang penolakan terhadap tambang pasir besi,’’ katanya.

Sebagai bentuk dukungan konkrit, mereka akan melakukan aksi-aksi di kampus-kampus internasional. Seperti yang akan dilakukan oleh salah satu pembicara dalam forum tersebut dari Amerika Serikat, Keith McHenry (inisiator Food Not Bombs), yang akan mengkampanyekan persoalan yang dihadapi petani pesisir Kulonprogo tersebut dalam festival internasional di negaranya yang digelar pekan ini.

Adapun langkah perjuangan para petani, kata Widodo, akan tetap bertani sebagai bentuk perlawanan konkrit. Selain itu juga akan tetap mengkampanyekan penolakan penambangan pasir besi melalui forum-forum internasional.

’’Karena perlawanan konkrit petani seperti itu, bertani. Memaksimalkan bagaimana mengelola lahan dan menujukkan kepada siapa saja bahwa ruang hidup yang sudah kita capai kenapa harus diganti dengan pertambangan yang belum jelas,’’ pungkasnya.

Ketua PPLP Supriyadi menyatakan, sejak awal hingga saat ini PPLP tetap memegang komitmen menolak penambangan pasir besi. Menurutnya, untuk perjuangan penolakan itu kampanye keluar melalui forum internasional juga sangat diperlukan. (H87-45)
___
Sumber http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/03/18/218659/Petani-Dapat-Dukungan-Internasional

Selasa, 19 Maret 2013

Oknum Kades Pelopori Aktivitas Tambang Pasirbesi Urutsewu

Oknum Kades Lembupurwo (AZ) ditengarai memelopori dimulainya aktivitas pertambangan di kawasan pesisir Urutsewu, Kebumen selatan. Investigasi yang dilakukan FPPKS mendapatkan fakta bahwa oknum Kades ini memulai mengakumulasi pasir yang telah melalui proses pemilihan dengan alat separator, di bentang lahan depan rumahnya dan di sisi Jl. Daendels, desa Lembupurwo, Mirit, Kebumen. Alat separator pasirbesi juga nampak bercokol di halaman rumahnya.

Meskipun dengan alasan bahwa pengambilan pasir ini bukan dari pesisir Mirit, aktivitas ini diproyeksikan mengawali fase operasional masuknya aktivitas tambang yang jelas-jelas mengancam pengembangan budidaya pertanian; terutama jenis tanaman holtikultura. Dipastikan bahwa aktivitas penumpukan material ini belum memiliki ijin resmi dan berpotensi meresahkan para petani yang selama ini berjuang menolak masuknya investor pertambangan pasirbesi di wilayahnya. Bahkan saat ini, kegiatan mengakumulasi bahan tambang tengah direncanakan bakal merambah ke desa Kenoyojayan, kecamatan Ambal.

Jejak Konspirasi Penguasa Lokal

Dalam sebuah wawancara tertulis melalui media sosial pada 24 Mei 2012, AZ mengaku dipanggil oleh apa yang disebutnya sebagai orang "pendopo" yang pada intinya ditekan untuk "mengamankan" ijin pertambangan pasir besi di pesisir wilayah Mirit. Pada masa itu, aksi penolakan petani Urutsewu terhadap masuknya investor tambang sedang massif dan menguat, justru karena Bupati telah mengeluarkan ijin usaha pertambangan bagi pt. MNC.

Sejauh mana kebenaran atas teori konspirasi ini, akan dapat dilihat dari perkembangan faktual di lapangan. Yang jelas, menurut pencermatan FPPKS, aktivitas mengakumulasi bahan tambang yang memiliki kandungan besi (Fe) cukup tinggi ini; tidak lah berdiri sendiri. Mineral lain yang terkandung adalah titanium, vanadium dan bahkan uranium. Gencarnya protes yang dilancarkan ribuan petani tidak membuat Bupati mencabut ijin yang telah dikeluarkannya, dengan dalih bahwa persoalan ijin ini telah dimulai prosesnya sejak ia belum menjabat Bupati. Banyak rumor dari "wilayah abu-abu" yang belum terpublish, sementara proses dari pemetaan, studi Amdal hingga dikeluarkannya ijin Bupati sangat manipulatif.

Pemberian ijin pertambangan di kawasan pertanian yang perkembangan budidaya agrarisnya melaju secara mandiri dan signifikan, juga dinilai warga bahwa Bupati telah mengkhianati Visi Misinya sendiri.

Dinilai Nekad 


Kegiatan penumpukan material tambang pasirbesi di wilayah Mirit ini dipandang warga sebagai tindakan nekad, mengingat beberapa kali massa petani melakukan aksi demonstrasi penolakan tambang. Seperti sengaja dibuat mencolok mata. Apalagi ini difasilitasi oleh seorang oknum Kades. Menyikapi perkembangan ini, beberapa petani yang sejak awal menolak kehadiran pertambangan pasirbesi di wilayahnya, mengaku geram. Terlebih ditengarai kegiatan ini mulai direncanakan bakal meluas ke wilayah kecamatan lain, Ambal.

FPPKS yang sejak awal konsisten menolak pertambangan pasirbesi di kawasan pesisir Urutsewu, tak kurang geramnya. Selain kehadiran pertambangan pasirbesi ini berpotensi menghancurkan pertanian lahan pesisir, tindakan oknum Kades dinilai provokatif dan berpotensi menimbulkan konflik horisontal.  

Minggu, 24 Februari 2013

Pernyataan Sikap Kongres Petani Otonom II



Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA)
10 Februari 2013

Membayangkan dunia tanpa petani/pertanian sama seperti membayangkan hidup tanpa pangan. Demikian pula, membayangkan negara yang abai pada rakyat sama seperti membayangkan negara tanpa kedaulatan. Saat ini, angan-angan (imajinasi) gelap itu justru hendak diwujudkan oleh penyelenggara negara, dengan cara menjadi budak/antek-antek korporasi.

Atas nama pembangunan, negara dan perusahaan semakin gencar mengambil alih tanah petani. Atas nama kesejahteraan, petani secara perlahan dan teratur diubah menjadi buruh cadangan. Atas nama  kepentingan umum, ruang hidup petani dipersempit bahkan dihilangkan untuk memperkaya segelintir konglomerat. Atas nama kemajuan, petani dikelabuhi untuk melepas hak hidupnya, melepas tanahnya, melepas pekerjaannya, melepas jatidirinya, melepas kehormatannya sebagai rakyat; sebagai manusia.

Apa yang tertulis dalam UUD 1945 (konstitusi) sama sekali bertolak belakang dengan apa yang terjadi dalam kenyataan. Tertulis bahwa: kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, kenyataannya: kedaulatan negara dan bangsa berada dalam kendali konglomerat. Adalah fakta bahwa pemerintah bukan pelayan rakyat, melainkan hamba korporasi. Negara yang semula dimaksudkan sebagai alat untuk mengelola kekuasaan dan alat untuk mencapai kesejahteraan rakyat, kini justru beralih menjadi alat untuk melestarikan penindasan terhadap rakyatnya sendiri, alat bagi komplotan politik dan pemodal untuk menumpuk kekayaan. Di kampung bernama Indonesia ini, para pencuri menyamar menjadi tamu agung dan lancang mengatur tuan rumah pemilik sah kekayaan ibu pertiwi.

Hukum bukan lagi ruang di mana rakyat dapat menemukan keadilan, tetapi hukum menjadi pembenaran atas pelanggaran asas-asas keadilan. Saat ini, pemerintah mencanangkan pengurasan kekayaan alam Indonesia dan pengusiran terhadap penduduk yang dianggap menghambat perluasan modal, dengan produk hukum/kebijakan yang membenarkan tindakan tersebut, antara lain:
  1. UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
  2. UU No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial
  3. UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
  4. UU No 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara
  5. RUU Keamanan Nasional
  6. PP No 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025
Sejarah Indonesia adalah sejarah konflik agraria yang berlangsung sejak jaman kolonial, dan berlanjut hingga kini. Konflik agraria belum selesai atau sengaja dirawat untuk mengukuhkan tatanan yang menguntungkan penguasa dan pengusaha. Dan, di dalam konflik agraria itulah, aksi-aksi kekerasan terhadap rakyat dilakukan oleh aparat negara dan dilegitimasi atas nama undang-undang. Kriminalisasi, teror, intimidasi, penculikan, dan penembakan terhadap petani/pejuang hak-hak rakyat adalah contoh nyata bahwa negara memilih menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Sementara, label kekerasan justru disematkan kepada rakyat yang dianggap menghambat masuknya modal, dengan dalih bahwa: aparat negara menjaga stabilitas keamanan (modal). Kekerasan juga dilakukan oleh elemen masyarakat dengan cara mendukung wacana ala negara dan korporasi, dengan slogan perjuangan: melawan tanpa kekerasan, agar rakyat tidak berbuat apapun ketika negara mengkhianati amanat rakyat. Tindakan rakyat untuk mempertahankan/merebut kembali hak-haknya bukanlah kekerasan, melainkan perjuangan sebagaimana perjuangan bersenjata para pejuang kemerdekaan di jaman kolonial.

Konflik agraria adalah tanda bahwa rakyat belum merdeka, bahkan bukan hanya rakyat, melainkan juga tanda bahwa negara telah kehilangan kedaulatannya. Kemerdekaan bukanlah kebebasan tanpa batas, bukan pula antikerjasama, kemerdekaan adalah lepas dari ketergantungan; berdaulat dalam mengambil keputusan; dan semangat untuk mengandalkan kekuatan sendiri.  

Forum Komunikasi Masyarakat Agraris digagas, dirumuskan, dan dibentuk oleh komunitas-komunitas petani/masyarakat yang menjadi korban persekongkolan Negara dengan Korporasi atas sumberdaya agraria (ruang hidup). Dengan tema: Menuju Gerakan Akar Rumput yang Mandiri, FKMA ke-2 meletakkan kembali posisi rakyat di atas negara, dan meletakkan korporasi di bawah kendali negara. Dengan tetap waspada terhadap upaya-upaya perampasan sumberdaya agraria/pasar tanah, FKMA ke-2 menghasilkan butir-butir sebagai berikut:

1. Melawan segala bentuk penindasan dan ketidakadilan akibat kejahatan korporasi, negara  dan persekongkolan keduanya dalam pengurusan sumberdaya alam/agraria, yaitu: 
a. Menolak latihan TNI dan ujicoba senjata berat oleh TNI/AD, pertambangan pasir besi di Kebumen.
b. Menolak pertambangan pasir besi dan Jalur Jalan Lintas Selatan Jawa di Kulon Progo.
c. Menolak pertambangan pasir besi dan PLTN, PLTU, di Bandungharjo dan Balong, Jepara.
d. Menolak pertambangan karst dan pendirian pabrik semen di pegunungan Kendeng, Pati.
e. Menolak privatisasi air tanah oleh Proyek Pengembangan Gas Jawa (PPGJ) di Kradenan,  privatisasi air oleh PT Gendhis Multi Manis di Bentolo, dan pendirian pabrik semen di pegunungan Kendeng, Blora.
f. Menolak rencana pertambangan pasir besi di Wotgalih, dan menuntut penghentian pertambangan sepanjang pesisir selatan Lumajang.
g. Menuntut pemulihan hak hidup sepenuhnya korban LAPINDO dan bukan sekedar ganti rugi tanah dan bangunan dan penolakan pengeboran LAPINDO di Sidoarjo.
h. Menolak penggusuran oleh Pemerintah Kabupaten Bantul dengan dalih Pelarangan Pelacuran menurut Perda No 5 Tahun 2007, di Parangtritis, Bantul.
i. Menuntut pembubaran PTPN VII Cinta Manis dan menolak keterlibatan TNI/POLRI dan paramiliter (preman) dalam penanganan konflik agraria, di Ogan Ilir, Sumatera Selatan.
j. Menolak pembangunan pabrik Aqua Danone dan Pembangunan Proyek Geothermal, di Padarincang, Banten.
k. Menolak pertambangan pasir di Ciamis dan Tasikmalaya.

2. Menyerukan/mengajak semua elemen masyarakat sipil untuk mendukung perjuangan gerakan akar rumput menuju gerakan yang mandiri.

3. Memaksa pemerintah untuk menghentikan kriminalisasi serta membebaskan petani dan pejuang hak-hak rakyat dari tahanan akibat konflik agraria.

4. Memerintahkan kepada Presiden RI dan jajaran penyelenggara negara untuk mewujudkan hak-hak rakyat atas sumberdaya agraria/ruang hidup .

5. Menyerukan korporasi untuk menghentikan segala upaya perampasan/pengambilalihan lahan yang menjadi ruang hidup rakyat.

6. Mengecam keberpihakan TNI/Polri dan paramiliter pada korporasi dan menolak aksi-aksi kekerasan TNI/Polri dan paramiliter dalam penanganan konflik sosial. 

7. Memerintahkan kepada segenap penyelenggara negara untuk tidak membuat atau mencabut kebijakan yang menjadi legitimasi bagi perampasan hak rakyat, terutama hak atas sumberdaya agraria. 

8. Mengecam segala bentuk persekongkolan antar elemen masyarakat, seperti LSM, parpol, gerakan mahasiswa, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, institusi pendidikan/akademisi, media, dan sebagainya yang melemahkan perjuangan gerakan akar rumput/rakyat dalam memperjuangkan keadilan agraria.

9. Menyerukan solidaritas untuk kelompok-kelompok masyarakat yang terampas hak-haknya di seluruh dunia.

Yogyakarta, 10 Februari 2013
  1. Kelompok Tani BERDIKARI, Sumedang
  2. Urutsewu Bersatu, Kebumen
  3. Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP), Kulon Progo
  4. Forum Silaturhmi Masyarakat Wotgalih (FOSWOT), Lumajang
  5. Forum Nelayan (FORNEL) dan Persatuan Masyarakat Balong (PMB) Jepara
  6. Serikat Petani  Blora Selatan, Gerakan Rakyat Menggugat (GERAM) Blora
  7. Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) dan Sedulur Sikep, Pati
  8. Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Front Pemuda Rengas (FPR) Ogan Ilir, Sumatera Selatan
  9. Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP), Parangtritis, Bantul
  10. Suara Korban Lumpur LAPINDO/AL FAZ,  Sidoarjo
  11. BALE RUHAYAT, Ciamis dan Tasikmalaya
  12. Gerakan Rakyat Anti Pembangunan Aqua Danone (GRAPAD), Banten

Delegasi 12 Komunitas Petani FKMA tengah membacakan Pernyataan Sikap Kongres Petani Otonom II

Rabu, 20 Februari 2013

Petisi Kepada Presiden untuk Penyelesaian Konflik Agrarian


[Document Transcript]

Surat  Terbuka   Forum  Indonesia  untuk  Keadilan  Agraria     kepada   Presiden  Republik  Indonesia   untuk  Penyelesaian  Konflik  Agraria      

Bapak  Presiden  yang  kami  hormati,    
Setelah   mengikuti   dengan   saksama   perkembangan   yang   terjadi   akhir-akhir   ini   terkait  dengan   konflik   agraria   di   berbagai   wilayah   kepulauan   Indonesia,   maka   kami   sebagai  pengajar,   peneliti   dan   pemerhati   studi   agraria   di   Indonesia   yang   bergabung   dalam  Forum   Indonesia   untuk   Keadilan   Agraria,   menyatakan   keprihatinan   yang   mendalam.  
Berdasarkan   kajian,   pengalaman   dan   pengamatan   kami   terhadap   persoalan   agraria,  kami sampaikan    pendapat  dan  usulan  kepada  Bapak, sebagaimana  butir-­butir  di  bawah  ini.
   
1. Pembukaan Undang-­undang Dasar 1945 menyatakan tujuan pembentukan Pemerintahan   Negara Indonesia antara lain adalah untuk melindungi   segenap   bangsa  Indonesia   dan   seluruh   tumpah   darah   Indonesia.   Berdasarkan   tujuan   tersebut, implementasi Pasal 33 ayat (3)   UUD 1945   sepenuhnya   menjadi   tanggung   jawab   negara.   Penguasaan   bumi, air dan kekayaan   alam yang terkandung didalamnya   adalah   untuk   sebesar-­besar   kemakmuran   rakyat   baik   untuk   generasi   saat   ini   maupun   masa   mendatang , yang   harus   dimaknai   ke   dalam   empat   prinsip:   (i)   kemanfaatan   dan   pemerataan   sumberdaya alam   bagi   rakyat;  
(ii)   perlindungan   atas   hak   azasi   manusia;  
(iii)   partisipasi   rakyat   dalam   menentukan   akses,   alokasi   dan   distribusi   sumberdaya   alam,   serta;  
(iv)   penghormatan terhadap  hak  rakyat  secara  turun-­temurun  dalam  memanfaatkan   sumberdaya  alam.
  
2. Fungsi   legislasi,   regulasi,   perencanaan,   dan   alokasi   pemanfaatan   serta   pengendalian pemanfaatan   ruang   dan   penguasaan   tanah   dan   sumberdaya   alam   oleh   negara   harus berlandaskan   pada   mandat   yang   diberikan   oleh   UUD   1945   yang  sudah  ditetapkan pada  angka  (1)  yaitu  untuk sebesar­besarnya  perlindungan   terhadap   hak­hak   bangsa   Indonesia,   termasuk   kelompok masyarakat   rentan,   yakni  masyarakat  hukum  adat, golongan  miskin,  perempuan,  petani  dan nelayan.
  
3. Pembangunan   ekonomi   yang   sehat   memerlukan   penataan   penguasaan   dan   pemanfaatan  tanah  dan  sumber  daya  alam  yang  adil  dan  berkelanjutan  sebagai   basis   penguatan ekonomi   rakyat.   Demikian   pula   diperlukan   partisipasi   masyarakat   secara   hakiki.   Untuk   mencapai   hal   tersebut,   diperlukan   kemauan   politik   yang   sungguh-­sungguh   dan   konsisten   serta   jaminan   perlindungan   hukum   yang   nyata   terhadap   kelompok   masyarakat   rentan,   utamanya   masyarakat   tak   bertanah   (tunakisma)   dan   tidak   memiliki   akses   terhadap   tanah   dan   sumberdaya   alam.  

4. Reformasi  hukum  dan  kebijakan  yang  komprehensif  yang  mengacu  pada  prinsip­ prinsip pembaruan   agraria   dan   pengelolaan   sumberdaya   alam   belum dilaksanakan.  
Empat   hal   mengindikasikan   situasi   ini:
 i)     adanya   beberapa   ketentuan   dalam   undang-undang  yang   bertentangan   dengan   UUD   1945;  ii)   adanya   ketidak­harmonisan   dan ketidaksinkronan diantara   peraturan   perundang­undangan  yang  mengatur  tentang  sumberdaya  alam  dan  lingkungan   hidup;  
 iii)   adanya   ketidak-­sinkronan   antara   peraturan   perundangan-­undangan   sumberdaya   alam   dan  lingkungan   dengan   peraturan   yang   mendukung   percepatan   pertumbuhan   ekonomi;  
 iv)   banyaknya   peraturan   daerah   yang   bersifat  eksploitatif  dan  bermotif  kepentingan  jangka pendek.  Sebagai  akibatnya,   keberlanjutan   pembangunan   Indonesia   terancam.   Bencana   lingkungan   dan   degradasi  sumber  daya  alam  meluas  ke  berbagai  wilayah  Indonesia.    

5. Kebijakan   dan   praktik   penerbitan   izin,   khususnya   bagi   usaha   skala   besar,   yang   ada   selama   ini   -di   satu   pihak- belum   mengindahkan   prinsip   hukum   dan   tata   kelola   yang   baik,   sarat   korupsi,   melampaui   daya   dukung   lingkungan,   tidak   mengakui  hak-­hak  dan  membatasi  akses  kelompok  masyarakat  rentan  utamanya   mereka   yang   tidak   bertanah   (tunakisma).  
Di   lain   pihak,   terdapat   konsentrasi   penguasaan   tanah   pada   segelintir   orang/badan   hukum   yang   mengakibatkan   lebarnya  kesenjangan  penguasaan  dan  pemilikan  tanah.  
Demikian  pula  terdapat   sejumlah   perjanjian   investasi   dan   perdagangan   bilateral   dan   multilateral   yang   berseberangan  dengan  semangat  keberlanjutan  sosial  dan  lingkungan  hidup.  

6. Masalah-masalah pada angka (4) dan (5) tersebut   menjadi   penyebab   muncul,   bereskalasi dan tidak terselesaikannya konflik agraria   serta   tidak   diatasinya   kerusakan   sumberdaya   alam   dan   lingkungan   hidup.   Penyelesaian   konflik   lebih   mengedepankan   penyelesaian   legal   formal   dengan   mengabaikan   keadilan   substantif.   Akibatnya,   konflik   agraria   justru   semakin   meningkat.
Sebagai   gambaran,   Badan   Pertanahan   Nasional   (BPN)   RI   menyatakan   ada   sekitar   8.000   konflik   pertanahan   yang   belum   terselesaikan.   Sawit   Watch   menyebutkan   adanya   sekitar   660   konflik   di   perkebunan   kelapa   sawit   dan   Koalisi   Rakyat   untuk   Keadilan   Perikanan   (KIARA)   menyebut   konflik   agraria   di   sektor   perikanan   sepanjang   2012   melibatkan   sedikitnya   60   ribu   nelayan.   Sementara   Konsorsium   Pembaruan  Agraria  (KPA)  menemukan  sekitar  1.700  konflik agraria,  mencakup kasus-­kasus perkebunan, kehutanan dan pertambangan. Khusus di tahun 2012, KPA mencatat 156 petani ditahan tanpa proses hokum yang benar, 55 orang terluka dan dianiaya, 25 petani tertembak dan 3 orang   tewas   akibat   konflik   agraria.  

7. Konflik   agraria   semakin   tidak   terdeteksi   secara   dini   karena   belum   optimalnya   penanganan   pengaduan   konflik.   Di   samping   itu,   konflik   bereskalasi   karena   tindak   kekerasan   yang   diduga   dilakukan   oleh   aparat   keamanan   yang   seharusnya   berdiri   di   atas   semua   pihak,   tetapi   pada   umumnya   justru   melindungi   kepentingan   pemodal   dengan   cara   yang   patut   diduga   bekerja   sama   dengan   perusahaan-­perusahaan   besar   untuk   menguasai   tanah/sumber   daya   alam   yang diklaim  oleh  masyarakat  hukum  adat  atau  masyarakat  lokal  lain.  

8. Pembangunan   Indonesia   yang   berprinsip   pada   keseimbangan   pertumbuhan   ekonomi,   keadilan   sosial,   kesetaraan,   dan   pelestarian   fungsi   lingkungan   tidak   akan   mencapai   tujuannya jika   konflik   agraria   tidak   diselesaikan   atau   diselesaikan   hanya   dengan   cara   represif.   Untuk   mendukung   hal   tersebut   diperlukan   kemauan   politik   yang   kuat,   sungguh-­sungguh,   konsisten, progresif,   dan  memberikan  perlindungan  kepada  kelompok  rentan;  disertai  implementasi kebijakan yang   tepat   dengan   dukungan   akademisi,   masyarakat   madani,   dan   aparat  keamanan.  

9. Terkait  dengan  butir-butir  pandangan  di  atas,  kami  mengusulkan  kepada  Bapak   Presiden  hal-hal  berikut.
 A. Melaksanakan   seluruh   arah   kebijakan   dan   mandat   Ketetapan   MPR   RI   No.   IX/MPR/2001   tentang   Pembaruan   Agraria   dan   Pengelolaan   Sumberdaya   Alam   secara   konsisten   dan   memantau   pelaksanaannya   secara   transparan,   berkelanjutan   dan   akuntabel   dengan   membentuk   jaringan   pemantau   antar   pemangku  kepentingan.  
B. Mengupayakan   penyelesaian   konflik   agraria   secara   berkesinambungan,   intensif  dan  terkoordinasi  dengan  cara:
    
1). Membentuk  lembaga  independen  dengan  tugas:  
a) Mendaftar,   mengadministrasikan   dan   memverifikasi   kasuskasus   konflik   agraria   yang   diadukan   oleh   kelompok   masyarakat   secara   kolektif;  
b) Melakukan   audit   atas   ijin-­ijin   pemanfaatan   tanah   dan   sumberdaya   alam   yang   diberikan   Kementerian,   Lembaga   dan   Pemerintah   Daerah   yang  menimbulkan  konflik-­konflik  agraria;    
c) Membuat   dan   menyampaikan   rekomendasi   penyelesaian   kasus kasus   konflik   agraria   tersebut   kepada   para   pihak   yang   terlibat   di   dalam  konflik;  
d) Memfasilitasi   penyelesaian   konflik   melalui   mediasi,   negosiasi   dan   arbitrasi;  
e) Melakukan   sosialisasi,   koordinasi   dan   kerjasama   dengan   kementerian  dan  lembaga pemerintah  non­Kementerian.  

2). Mendorong  Kepala  Pemerintah  Daerah  Provinsi/Kabupaten/Kota  untuk:    
a) Identifikasi   dan   inventarisasi   konflik­konflik   yang   sedang   berlangsung   serta   deteksi   dini   potensi   konflik   pengelolaan   sumberdaya  alam;    
b) Fasilitasi   proses-­proses   penyelesaian   konflik   agraria   yang   berlangsung  di  daerah  masing­masing;  
c) Identifikasi   dan   verifikasi   masyarakat   hukum   adat   dalam   rangka   pengakuan  terhadap  keberadaan  masyarakat  hukum  adat.
  
3. Merevisi   Instruksi   Presiden   (Inpres)   No.2   Tahun   2013   tentang   Penanganan   Gangguan   Keamanan   Dalam   Negeri   karena:  
(i)   Inpres   ini   lebih  fokus  pada  penyelesaian  konflik  yang  timbul  di  permukaan  melalui   pendekatan   keamanan   tetapi   tidak   mengupayakan   tindakan   korektif   terhadap   akar   konfliknya; (ii)   Inpres   ini   tidak   dapat   digunakan   untuk   menyelesaikan  konflik  agraria  karena  tidak melibatkan  menteri-­menteri   terkait  dengan  pengelolaan  sumber  daya  alam.  

4. Memerintahkan  Kapolri  dan  Panglima  TNI  untuk:      
a) Mengusut   tuntas   tindak   kekerasan   yang   dilakukan   oleh   aparat   Polri/TNI   terhadap   masyarakat   dan   aktivis   LSM   terkait   dengan   konflik-­konflik  agraria;  
b) Menghentikan  penggunaan  cara-­cara  kekerasan  oleh  aparat;  dan  
c) Membebaskan   aktivis   LSM warga   masyarakat   hukum   adat,   petani dan   nelayan   yang   saat   ini ditangkap     dan   ditahan   oleh   aparat   kepolisian.    

C. Menugaskan   Menteri   Hukum   dan   Hak   Asasi   Manusia   untuk   memimpin   pengkajian   ulang   terhadap   seluruh   peraturan   perundang-­undangan   di   bidang   agraria   dan   pengelolaan   sumberdaya   alam   yang   tumpang   tindih   dan   bertentangan   satu   sama   lain,   dengan   melibatkan   akademisi   dan   masyarakat   madani.   Pengkajian   ulang   dilakukan   berlandaskan   prinsip-­prinsip   Pembaruan   Agraria   dan   Pengelolaan   Sumberdaya   Alam.   Dalam   rangka   pengkajian   ulang   perlu  diterbitkan  Peraturan  Presiden  sebagai  landasan  moratorium  penyusunan   peraturan   perundangan-­undangan   di   bidang   agraria   dan   sumberdaya   alam.   Menteri   Hukum   dan   Hak   Asasi   Manusia   mengkoordinasikan   revisi   peraturan   perundang-­undangan  yang  dimaksud.
 
D. Menugaskan  kepada  Pimpinan  kementerian  terkait  dengan  sumberdaya  agraria   dan  Badan  Pertanahan  Nasional  untuk:  
a) Melakukan  moratorium  pemberian  ijin  pemanfaatan  sumberdaya  alam  atau   hak  atas  tanah  selama  dilakukan  audit  oleh  lembaga  independen;  
b) Mengembangkan   dan   melaksanakan   kebijakan   yang   dapat   mencegah   dampak  negatif  terhadap  lingkungan  hidup  dan  konflik  agraria;  
c) Melaksanakan   Undang-­Undang   Nomor     14   Tahun   2008   tentang   Keterbukaan   Informasi  Publik.  

E. Mendorong  Kementerian  terkait  dan  Badan  Pertanahan  Nasional  untuk:  
a) Mendukung   percepatan   pembentukan   Undang-­Undang   yang   mengatur   tentang  Pengakuan dan  Perlindungan  Masyarakat  Hukum  Adat;  
b) Mendukung   Pemerintah   Provinsi/Kabupaten/Kota   melakukan   proses   identifikasi  dan  verifikasi  keberadaan  masyarakat  hukum  adat.  

F. Menugaskan kepada Menteri Kehutanan  untuk segera menyelesaikan konflik pada desa-desa  di dalam,  berbatasan  dan  sekitar  kawasan  hutan.  

G. Membentuk  kementerian  yang  bertanggung  jawab  mengkoordinasikan  kebijakan   dan   implementasi   kebijakan   di   bidang   pertanahan,   sumberdaya   alam   dan   lingkungan  hidup.        

Jakarta  7  Februari  2013    

Forum  Indonesia  untuk  Keadilan  Agraria     (nama-­nama  terlampir)             
Lampiran  nama-­nama:    

1. Prof.  Dr.  Sediono  M.P.  Tjondronegoro  (Sajogyo  Institute)    
2. Prof.  Dr.  Gunawan  Wiradi  (Sajogyo  Institute)  
3. Prof.  Dr.  Maria  S.W.  Sumardjono,  S.H.,  MCL,  MPA  (Universitas  Gadjah  Mada)  
4. Prof.  Arie  Sukanti  Hutagalung,  S.H.,  MLI  (Universitas  Indonesia)  
5. Prof.  Soetandyo  Wignjosoebroto,  MPA  (Universitas  Airlangga)  
6. Prof.  Dr.  Nurhasan  Ismail,  S.H.,  M.Si  (Universitas  Gadjah  Mada)  
7. Prof.  Dr.  Ir.  Hariadi  Kartodihardjo  (Institut  Pertanian  Bogor)  
8. Prof.  Dr.  Suhariningsih,  S.H.,  SU  (Universitas  Brawijaya)  
9. Dr.  Ida  Nurlinda,  S.H.,  M.H.  (Universitas  Padjadjaran)  
10. Dr.  Soeryo  Adiwibowo  (Institut  Pertanian  Bogor)  
11. Prof.  Dr.  Hj.  Farida  Patittingi,  S.H.,  M.Hum  (Universitas  Hasanuddin)  
12. Prof.  Dr.  Ronald  Z.  Titahelu,  S.H.,  M.S  (Universitas  Pattimura)  
13. Prof.  Dra.  M.A.  Yunita.  T.  Winarto,  M.S.,  M.Sc,  Ph.D  (Universitas  Indonesia)  
14. Prof.  Dr.  Endriatmo  Sutarto  (Institut  Pertanian  Bogor)  
15. Prof.  Dr.  Muhammad  Bakri,  S.H.,  M.S  (Universitas  Brawijaya)  
16. Prof.  Dr.  Ir.  Joenil  Kahar  (Institut  Teknologi  Nasional  Bandung)  
17. Prof.  Dr.  Ir.  Udiansyah,  M.S  (Universitas  Lambung  Mangkurat)  
18. Myrna  A.  Safitri,  Ph.D  (Universitas  Presiden)  
19. Dr.  Kurnia  Warman,  S.H.,  M.Hum  (Universitas  Andalas)  
20. Dr.  Abdul  Wahib  Situmorang  (Universitas  Sriwijaya)  
21. Dr.  Taqwaddin  Husin,  S.H.,  S.E.,  M.S  (Universitas  Syiah  Kuala)  
22. Noer  Fauzi  Rachman,  Ph.D  (Sajogyo  Institute)  
23. Dr.  Satyawan  Sunito  (Institut  Pertanian  Bogor)  
24. Mia  Siscawati,  Ph.D  (Sajogyo  Institute)  
25. Joeni  Arianto  Kurniawan,  S.H.,  M.A  (Universitas  Airlangga)  
26. P.  Donny  Danardono,  S.H.,  M.A  (Unika  Soegijapranata)  
27. Awaluddin  Marwan,  S.H.,  M.H.,  M.A  (Universitas  Diponegoro)  
28. Feri  Amsari,  S.H.,  M.H  (Universitas  Andalas)  
29. Yance  Arizona,  S.H.  M.H  (Epistema  Institute)  
30. Mumu  Muhajir,  S.H  (Epistema  Institute]  
31. R.  Herlambang  Perdana  Wiratraman,  S.H.,  M.A  (Universitas  Airlangga)  
32. Lilis  Mulyani,  S.H.,  LL.M  (Lembaga  Ilmu  Pengetahuan  Indonesia)  
33. Dr.  Herry  Yogaswara,  M.A  (Lembaga  Ilmu  Pengetahuan  Indonesia)  
34. Dr.  Abdul  Aziz,  SR,  M.Si  (Center  for  Election  and  Political  Party,  FISIP  UI)  
35. Andiko,  S.H.,  M.H  (Peneliti,  HuMa)  
36. Feby  Ivalerina  Kartikasari,  S.H.,  LL.M  (Unika  Parahyangan)  
37. Deni  Bram,  S.H.,  M.H.  (Universitas  Pancasila)  
38. Tristam  P.  Moeliono,  Ph.D  (Unika  Parahyangan)  
39. Armen  Yasir,  S.H.,  M.Hum  (Universitas  Lampung)    
40. Maret  Priyanta,  S.H.,  M.H  (Universitas  Padjadjaran)  
41. Hengki  Andora,  SH.,  LL.M  (Universitas  Andalas)  
42. Dr.  Christine  Wulandari  (Universitas  Lampung)  
43. A.  Joni  Minulyo,  S.H.,  M.H  (Unika  Parahyangan)  
44. Dr.  Cornelius  Tangkere,  S.H.,  M.H  (Universitas  Sam  Ratulangi)  
45. Rosnidar  Sembiring,  S.H.,  M.Hum  (Universitas  Sumatera  Utara)  
46. Dr.  Shidarta,  S.H.,  M.Hum  (Universitas  Bina  Nusantara)  
47. Dr.  Hufron,  S.H.,  M.H  (Pusat  Studi  Hukum  dan  Desentralisasi)       
48. Ir.  H.  Niel  Makinuddin,  M.A  (Pemerhati  Sosial  dan  Lingkungan  Kaltim)    
49. Kussaritano,  S.Th,  M.Th  (Peneliti,  Mitra  LH  Kalimantan  Tengah)  
50. Oki  Hajainsyah  Wahab,  S.IP,  M.H  (PDIH  Universitas  Diponegoro)  
51. Dr.  Tisnanta,  S.H.,  M.H  (Universitas  Lampung)  
52. Rudy,  S.H.,  LL.M,  LL.D  (Universitas  Lampung)  
53. Ade  Arif  Firmansyah,  S.H.,  M.H  (Universitas  Lampung)  
54. F.X.  Sumardja,  S.H.,  M.H  (Universitas  Lampung)  
55. Munafrizal  Manan,  S.H.,  S.Sos,  M.Si,  M.IP  (Universitas  Al-­Azhar  Indonesia)  
56. Praja  Wiguna,  S.Sos  (Peneliti,  Yabima  Indonesia)  
57. Asep  Yunan  Firdaus,  S.H.,  M.H  (Peneliti,  Epistema  Institute)  
58. Siti  Rakhma  Mary  Herwati,  S.H.,  M.Si  (Peneliti,  HuMa)  
59. Abidah  Billah  Setyowati,  M.A  (PhD  Candidate,  Rutgers  University)  
60. Drs.  R.  Yando  Zakaria  (Pengajar  tamu,  UGM)  
61. Meifita  Handayani  (Peneliti  IRE)  
62. Ir.  Didin  Suryadin  (Peneliti,  HuMa)  
63. Dr.  Ridho  Taqwa  (Universitas  Sriwijaya)  
64. Ir.  Reny  Juita,  M.Sc  (Peneliti  independen)  
65. Erwin  Dwi  Kristianto,  S.H  (PMLP,  Unika  Soegijapranata)  
66. Luh  Rina  Apriani,  S.H.,  M.H  (Universitas  Pancasila)  
67. Darmawan  Triwibowo,  S.P.,  M.Sc,  M.A  (Perkumpulan  Prakarsa)  
68. Ir.  Zaima  Mufarini,  M.Si  (Pascasarjana  UIN  Syarif  Hidayatullah)  
69. Dr.  Pitojo  Budiono  (Universitas  Lampung)  
70. Rudi  Yusuf  Natamihardja,  S.H.,  DEA  (Universitas  Lampung)  
71. M.  Harya  Ramdhoni,  S.IP,  M.A  (Universitas  Lampung)  
72. Drs.  Hertanto,  M.Si  (Universitas  Lampung)  
73. Imam  Koeswahyono,S.H.,MH  (Universitas  Brawijaya)  
74. Herlindah,  S.H.,  M.Kn.  (Universitas  Brawijaya)  
75. M.  Hamidi  Masykur,  S.H.,  M.Kn  (Universitas  Brawijaya)  
76. Amelia  Sri  Kusuma  Dewi,  S.H.,  M.Kn  (Universitas  Brawijaya)  
77. Fachrizal  Affandi,  S.Psi,  S.H.,  M.H  (Universitas  Brawijaya)  
78. Bambang  Pratama,  SH.,  M.H  (Universitas  Bina  Nusantara)  
79. Dr.  Ir.  Suporaharjo,  M.Si  (Peneliti  LATIN)  
80. Yunety  Tarigan,  S.E.,  M.Si  (Peneliti  independen)  
81. Restaria  F.  Hutabarat,  S.H.,  M.A  (Universitas  Presiden)  
82. Nurul  Firmansyah,  S.H.,  M.H  (Peneliti  Q-­Bar)  
 83. Airlangga  Pribadi,  S.IP,  M.A  (Universitas  Airlangga)  
84. Maria  Francisca,  S.H.,  S.E,  M.Kn  (Universitas  Presiden)  
85. Jomi  Suhendri,  S.H.,  M.H  (Universitas  Ekasakti)  
86. Dr.  M.  Muhdar,  S.H.,  M.Hum  (Peneliti,  Prakarsa  Borneo)  
87. M.  Nasir,  S.H.,  M.H  (Universitas  Balikpapan)  
88. Rosdiana,  S.H.,  M.H  (Peneliti,  Prakarsa  Borneo)  
89. Dr.  Iwan  Permadi,  S.H.,  M.H  (Universitas  Brawijaya)  
90. Rahmina,  S.H.  (Peneliti,  Prakarsa  Borneo)  
91. Yamin,  S.H.,  S.U.,  M.H  (Universitas  Pancasila)  
92. Linda  Y.  Sulistiawati,  S.H.,  LL.M  (PhD  Candidate,  University  of  Washington)  
93. Gus  Yakoeb  Widodo,  S.H.,  M.H  (Universitas  Pekalongan)  
94. Dr.  Firman  Muntaqo,  S.H.,  M.Hum  (Universitas  Sriwijaya)  
95. Dr.  Dominikus  Rato,  S.H.,  M.Si  (Universitas  Negeri  Jember)  
96. Ngesti  Dwi  Prasetyo,  S.H.,  M.H  (Universitas  Brawijaya)  
97. Arsa  Ria  Casmi,  S.H.,  M.H  (Universitas  Brawijaya)  
98. Aan  Eko  Widiarto,  S.H.,  M.H  (Universitas  Brawijaya)  
99. Dr.  Rachmad  Safa’at,  S.H.,  M.Si  (Universitas  Brawijaya)  
100. Yusdianto,  S.H.,  M.H  (Peneliti,  PKKPUU)  
101. Farhan,  S.H.  (Peneliti  Forum  Petani  Aryo  Blitar)  
102. Dr.  Semiarto  Aji  Purwanto  (Universitas  Indonesia)  
103. Dr.  Arif  Satria  (Institut  Pertanian  Bogor)  
104. Dr.  Kotan  Y.  Stefanus,  S.H.,  M.Hum  (Universitas  Nusa  Cendana)  
105. Ahmad  Nashih  Luthfi,  M.A  (Sekolah  Tinggi  Pertanahan  Nasional)  
106. Eko  Cahyono,  M.Si  (Sajogyo  Institute)  
107. Dr.  Ir.  Rilus  A.  Kinseng,  M.A  (Institut  Pertanian  Bogor)  
108. Dr.  Setia  P.  Lenggono  (Universitas  Widya  Gama  Mahakam/LPPM  IPB)  
109. Siti  Fikriyah  Khuriyati,  S.H.,  M.Si  (Lapera  Indonesia)    
110. Magdalena  Triwarmiyati  D.W.,  S.S.,  M.Si  (Unika  Atma  Jaya  Jakarta)  
111. M.  Nazir,  M.A  (Sekolah  Tinggi  Pertanahan  Nasional)  
112. Dr.  Oloan  Sitorus,  S.H.,  M.S  (Sekolah  Tinggi  Pertanahan  Nasional)  
113. Bayu  Eka  Yulian,  S.P  (Institut  Pertanian  Bogor)  
114. Prayekti   Muharjanti,   S.H.,   M.Sc   (Peneliti,   Indonesian   Centre   for   Environmental   Law)  
115. Nurul  Widyaningrum,  M.S  (Akatiga)  
116. Dr.  Hermansyah  (Universitas  Tanjungpura)  
117. Rina  Mardiana,  S.P.,  M.Si  (Institut  Pertanian  Bogor)  
118. Dr.  Ir.  Bramasto  Nugroho,  M.S  (Institut  Pertanian  Bogor)  
119. Dr.  Stefanus  Laksanto  Utomo,  S.H.,  M.H  (Universitas  Sahid)  
120. Dr.  Endang  Pandamdari  S.H.,  M.H.,M.Kn  (Universitas  Trisakti)  
121. Irene  Eka  Sihombing,  S.H.,M.H.,  M.Kn  (Universitas  Trisakti)  
122. Suparjo  Suyadi,  S.H.,M.H  (Universitas  Indonesia)  
123. Hendriani  Parwitasari,  S.H.,M.Kn  (Universitas  Indonesia)  
124. Marlisa  Qadarini,  S.H.,  M.H  (Universitas  Indonesia)  
125. Rafael  Edy  Bosko,  S.H.,  LL.M  (Universitas  Gadjah  Mada)  
126. M.  Riza  Damanik,  S.T.,  M.Si  (Indonesia  for  Global  Justice)  
127. Eko  Indrayadi  (Peneliti  independen)  
128. Idham  Arsyad,  S.Ag  (Mahasiswa  Pascasarjana  IPB)  
129. Ir.  Firman  Hidayat,  M.T  (Mahasiswa  Pascasarjana  IPB)  
130. Agung  Wardana,  S.H.,  LL.M  (Undiknas)  
131. Albertus  Hadi  Pramono,  M.A  (Sajogyo  Institute)  
132. AH.  Asari  Tr.  S.H.,  M.H  (Universitas  Pekalongan)  
133. Febri  Meutia,  S.H.,  M.Kn  (Universitas  Pancasila)  
134. Rr.  Restisari  J.  S.H.,  M.H  (Universitas  Pancasila)  
135. Abetnego  T.,  S.E  (Peneliti  independen)  
136. Erni  Dianawati,  S.H.,  M.H  (Universitas  Pancasila)  
137. Zuraida  Balweel,  S.H.,  M.Kn  (Universitas  Pancasila)  
138. Dr.  Muhammad  Taufik  Abda  (Center  for  Study  and  Advocacy  of  the  Region,   Aceh)  
139. Riza  V.  Tjahjadi  (Biotani  Bahari  Indonesia)  
140. Agung  Wibowo,  S.Hut,  M.Si  (Universitas  Palangkaraya)  
141. Dr.  Tarech  Rasyid,  M.Si  (Universitas  IBA,  Palembang)  
142. Ir.  J.J.  Polong  (Universitas  Sriwijaya)  
143. Irene  Mariane,  S.H.,  M.H  (Universitas  Pancasila)
144. Dr.  Laksmi  Adriani  Savitri  (Universitas  Gadjah  Mada)  
145. Henri  Subagiyo,  S.H  (Peneliti  Indonesian  Centre  for  Environmental  Law)  
146. Listyowati  Sumanto,  S.H.,  M.H  (Universitas  Pancasila)    
147. Lisken  Situmorang,  S.Si,  M.Si  (Peneliti  Independen)  
148. M.  Shohibuddin,  M.Si  (Institut  Pertanian  Bogor)  
149. Ir.  Nurka  Cahyaningsih,  M.Si  (Peneliti  Independen)  
150. Ir.  Martua  T.  Sirait,  M.Sc  (PhD  Candidate,  Institute  of  Social  Studies)  
151. Grahat  Nagara,  S.H  (Peneliti,  Silvagama)  
152. Bernadeta  Resti  Nurhayati,  S.H.,  M.Hum  (Unika  Soegijapranata)  
153. Dr.  Mohammad  S.  Tavip,  S.H.,  M.Hum  (Universitas  Tadulako)